BALADA
PURING
1
Keris kuna, belati tua
menyentak mimpi keranda
Tapi siapakah mengetuk pintu berkarat
ini
selain persekutuanku sendiri?
2
Demikian Puring bersama gelojoh puisi
menebarkan aroma paling sangit
serta menyeka pelipisku: o, sedu-nikmat
karena daku pelabuhnya. Dan di sini
punjer bengawan
3
Lantas dituntaskan tarian ronggeng
mengusap jelujur rembangan. Tangis tak
berbasuh
Sebayang penggal onani
ditinggal sekar buron bauran
4
Sangkal-sangkal jadi memberat:
O, aduh! aduh! -- pekikan tanpa ujung
tengah malam desa Puring
mengalur geliur sinting
5
Cuma aku terbebas dari amarah gladrah
Kala talas-talas menggatal di jantung
dan batinku terkoyak nista
jauh dari sebuah bentangan gelisah
6
Mungkinlah kawal dan gelepar
menguasai dongeng pancawarna
Tatkala sanjung tak lagi dibendung
oleh serbuan si anak ontang-anting
7
Adalah itu, pekik-pekik tengah sandungan
dan belum pamit pada guru. Bukit longsor
di utara
seperti lecehan seorang pembual. Asing
dan dangkal
jadi sebuah limit sipit
8
Maka pada juntrung pelabuhan, cintaku
membenam
bagai kentalnya air mani di kenikmatan
cumbana
Seraya melantunkan puisi Asmaradana
Kawah letih, buana merintih
landungnya sanggama pasrah
Dan hidup adalah hutang pada Sang Poyang
BALADA
BIANGLALA
I
Tarian tanah gamping di celup suntukku
O, derap kajian ufuk
Menjenguk setugal malam. Pelatuk sangsi
ke situ
Dan adalah rengkuhan puncak
Malahan ada yang silam berkepundan
pabila bukit boyong ke pedalaman
dan para dalang mengulir blencong
II
Terang bagai manikmata pencalang
aku merogoh lambung lubuk
lantas bicara bahwa ada cuaca kuyup
Maka adalah merdunya kidung
seonggok pengestu bunda kandung
Wahai, jalan setapak ini adalah
goresanku!
III
Meski usia muda bukan pelengkap derita
adalah dikau juga menggalang siksa
dalam penantian kisruh tanpa nada?
Wataklah dilambuk bencah sawah
padahal tiap jengkal gesang ugahari
adalah juga sejelang juru bicara
O, aku sendiri menistai Kyai-Nyai Puring
dan memerankan Jaka Ladrang nan gempal
IV
Sampai akhirnya kutemukan benua baru
bukan dalam lelatu. Bukan pendaman justa
leluhur
Bukan siapa pun. Cuma gelegak rerasan
bergeboyar
Lantas para jiran mengusap tangis
Desa Kuning mengucap selamat tinggal
bagi Jaka Ladrang yang raib
dari haribaan kadang-karuh
BALADA
NILAKANDI
I
Dan pagi pun resik. Menala bakti rumesik
dalam tayung-tayungan kelana
Kuhamparkan tembang anclum. Tembang alum
lamun warna bumiku tambah ungu
kemudian satu pahala menyeru ujung-ujung
cenungan istirah sangsi
sampai sebuah sangkakala menderu
II
Bukankah biduk tak berpelita
menguasai pagi sekali, dan sekali lagi
Mengusah serapah simbah
dan akhirnya membilang syukur pada
matahari
Entah pabila suntingan saksi
serta pabila pengharapan dini
menggeliar kowar dan jentar
-- penyap di ribaan Mak Tijah!
lantas berakhir di beledru tawang –
III
Nilakandi, o bayang baurku sendiri
tatkala alam menyatukan puspita maya
dan di awal tepungan – karuh dan rengkuh
senantiasa kasih hadir. Mengungkai
gelisah
biar aku jadi gembala, o, dingin
dan menyembah kabut di pulungan lilin
IV
Sampai matra ke selikur lindur. Sampai
daya luruh
dan alangkah jauh gapaian senandung
Seru dan sentak si bocah lurung
ditundung, diharung dan dilarung
cakrawala yang tanpa tudung
SURYANTO SASTROATMODJO (KRT Suryo Puspo Hadinegoro), lahir di Bojonegoro,
Jawa Timur, 5 November 1951. Terakhir bekerja di Harian Bernas. Menulis dalam
bahasa Indonesia dan Jawa. Karya-karya sastranya dimuat di berbagai media massa
baik pusat maupun daerah. Karya-karya sastranya dibukukan dalam: Pagi Cerah Awal April, Setetes Embun Pagi, Di atas Andong Yogya, Di Kaki
Langit Utara, Surat-Surat Cinta, Aku Pangeran Muda, Tugu (1986), dll. Selain sebagai penyair (sastrawan); memperhatikan
kehidupan sastra, seni, dan budaya Jawa; serta sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar